• +62 727 93636

BUKTI TUHAN ITU ADIL

Teks: Andrian Saputri

Foto: Yohanes Abimanyu

 

Percaya Man Jadda Wa Jadda

 

-where there is a will there is a way-, dimana ada kemauan, pasti disitu ada jalan. Yup! Seperti pria yang satu ini. Ia kerap mempertajam inner power-nya dalam perang kesuksesan.

 

Siang itu, Kamis beberapa pekan lalu tepatnya, suasana kota Jakarta begitu menyenangkan. Awan hitam yang belum lama menurunkan hujannya, lumayan meneduhkan seluruh pengguna jalan di setiap inci jalanan Ibu Kota, termasuk kami.

 

Cuaca semacam ini membuat adrenalin kami makin bersemangat untuk menemui sosok pria yang kabarnya memiliki segudang cerita tentang kecintaannya terhadap dunia penjualan. Dari meja redaksi kami pun bergegas menyalakan kendaraan roda menuju kawasan Bisnis Granadha, Semanggi, Jakarta Selatan.

 

Rupanya, siang itu rencana kami untuk berbincang dengan pria asli Palembang ini terbilang lancar. Hujan berhenti, cuaca dingin, lalu lintas tidak terlalu macet dan terlebih-lebih si empu yang akan kami ‘booking’ ini, dengan senang hati menyambut kedatangan kami.

 

Pertama menginjak etalase kantornya, kami cukup terkesan dengan desain dan atribut simple, bersih, modern dan homy di beberapa sudut ruang. “Hallo, apa kabar, yuk kita ngobrol di ruangan saya saja,” sapa ramah Pria yang memiliki nama lengkap Budi Janto ini saat kali pertama menyambut kedatangan kami siang itu, Kamis 30 Juni 2013.

 

Singkat cerita, Budi (sapaan akrabnya) ialah Country Manager PT HTC Indonesia.  Ia memimpin perusahaan pemegang tunggal merek handphone dan smartphone HTC untuk pasar Indonesia.

 

Mengawali pembicaraan di ruang minimalis modern itu, Budi mengatakan dirinya baru saja bergabung dengan HTC pada Januari 2013 lalu. Memang, belum ada hitungan tahun ia menempuh karirnya di perusahaan seluler buatan Taiwan itu. Namun, semangat dan ekspektasi terhadap perusahannya tersebut begitu menggelora demi mencatat sejarah kesuksesan merek produknya di pasar telekomunikasi Indonesia.

 

“Ambisi saya adalah membuat HTC sebagai produk telekomunikasi yang paling dominan di kelas premium di pasar Indonesia dan setiap orang di Indonesia memiliki produk HTC,” buka Budi.

 

Jadi cerita awalnya seperti ini. Demi merubah kondisi ekonomi keluarganya yang terus mengalami pasang surut, ia berniat sejak lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Palembang harus melanjutkan pendidikan ke tingkat mahasiswa. Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pun mengakui keuletan Budi dan menerimanya menjadi mahasiswa baru pada tahun 1990. Pada tahun 2004 mengambil pendidikan Executive MBA  di Monash University  IPMI Campus Indonesia serta Sales & Marketing Leadership Program di Kellogs School of Management pada April 2008 lalu.

 

Anak pertama dari lima bersaudara ini seakan memiliki tanggung jawab lebih untuk membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa kelak ia akan mencapai titik kesuksesan. “Saya berpikir bagaimana caranya saya harus sukses. Saya punya bekal mental yang kuat. Dari kecil ayah mendidik saya untuk kerja keras. Dulu, ayah saya dagang cincau keliling-keliling tempat di beberapa wilayah Palembang. Pelajaran dari ayah itulah yang menjadi modal utama saya untuk sukses di kemudian hari,” kenangnya panjang.

 

Di UGM ia mengambil jurusan Ekonomi jenjang Strata Satu. Ilmu dan mental dagang dari sang ayah rupanya menular. Budi mengaku kesengsem dengan dunia bisnis, ekonomi dan penjualan. Tahun 1994 ia dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan. Gelar Sarjana Ekonomi pun menjadi modal berikutnya saat ia menitih karir.

 

Awali Karir di Bidang Consumer Good

Mei 1995 ia memulai karirnya di perusahaan Johnson & Johnson Indonesia, sebuah perusahaan yang lebih dikenal sebagai produsen produk-produk consumer good seperti bedak, minyak telon, shampoo, sabun dan sejenisnya.

 

Saat itu Budi mengemban jabatan sebagai Product Specialist. Jelas, posisinya tersebut membuatnya mau tak mau wajib mempelajari dunia kesehatan. Terlebih dalam perkembangannya Johnson & Johnson kian mengukuhkan diri sebagai perusahaan yang berkonsentrasi pada tiga kategori, yakni farmasentika, peralatan medis dan barang konsumsi.

 

Meskipun perlahan ia mulai menyukai pekerjaannya tersebut, namun, ‘penampilan’ terbaik dan hubungan hangat dengan para profesional, pelanggan serta mitra bisnis tak cukup membuatnya bertahan. Tepat Juni 1996, ia memutuskan untuk mencari pengalaman dan tantangan baru bagi karirnya.

 

Tidak perlu menunggu hingga bertahun-tahun, pada September periode tersebut Budi kembali dipercaya oleh sebuah perusahaan asing. Ialah British American Tobacco, produsen berbagai produk rokok, seperti Dunhill, Lucky Strike dan Pall Mall. “Lagi-lagi saya berkutat di dunia penjualan produk consumer good dan saya suka,” aku Budi.

 

Posisi terakhirnya di perusahaan pengakuisisi perusahaan rokok Bentoel Group ini ialah sebagai Key Account Manager & Category Analyst. Sebelumnya ia sempat menjabat sebagai Junior Brand Manager dan Management Trainne in Sales & Marketing.  Selama 4 tahun ia menjalani karirnya di perusahaan ini, hingga pada Januari tahun 2000 lalu, ia kembali mencari tantangan baru dan lebih fresh di jagat consumer good lainnya.

 

Well, seperti biasa, Budi kembali ‘terjebak’ di bidang consumer good, yaitu PT. Coca Cola Amatil Indonesia (CCAI). Sebuah produsen sekaligus distributor dan pemasaran produk Coca-Cola melalui lebih dari 120 pusat penjualan yang tersebar di seluruh Indonesia. Tercatat sejak Februari 2000 hingga Agustus 2002 ia menjalankan tugasnya sebagai Channel Development Manager dan Market Development Manager di PT. CCAI.

 

Kepiawaiannya dalam bidang penjualan produk-produk consumer good memang terus menajam. Bahkan pada September 2002 hingga Desember 2005 ia dipercayai untuk memegang kendali sebagai Head of Sales dan Group Brand Manager di PT Multi Bintang Indonesia, produsen dan distributor tunggal Heineken.

 

Satu Haluan, Beda Rasa

Pada kenyataannya, kecintaan Budi terhadap dunia sales, negosiasi dan komunikasi memang tidak bisa dibendung. Meskipun sudah beberapa kali merasakan dunia marketing, tapi tetap saja rasa penasarannya terhadap bidang tersebut masih membuncah.

 

Kali ini revisi besar-besaran dibuat oleh Budi. “Saya pindah ke perusahaan yang bukan pada bidang consumer good. Tentu saja ada rasa penasaran begitu besar mengenai proses dan pencapaian yang akan saya lakukan di perusahaan ini,” tuturnya.

 

Desember 2005 silam, ia bergabung dengan British Petroleum (BP) Indonesia, perusahaan minyak dan gas bumi yang memiliki kantor pusat di London, Inggris. “BP di Indonesia memasarkan beberapa merek oli, termasuk Castrol untuk kendaraan roda dua dan empat,” ujar Budi.

 

Ya Tuhan,,, bagaimana bisa dari consumer good tiba-tiba ke petroleum? Ujar kami dalam hati sesaat setelah mendengar pengakuan dari Bos nya HTC Indonesia ini. “Jelas ini sangat teknikal. Saya sangat membutuhkan waktu untuk mempelajari produk ini, karena pasti berbeda dari yang awalnya consumer good lari ke oli, segmentasi pasar dan konsumen pasti juga beda,” katanya.

 

Di sela-sela tantangan tersebut, Budi memanfaatkan kepiawaiannya dalam hal komunikasi serta sedikit ditambahkan ‘bumbu-bumbu’ rendah hati demi mempermudah proses kerjanya di lingkungan baru tersebut. Meskipun begitu, kali pertama bergabung dengan perusahaan ini, ia langsung mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Marketing Director.

 

“Saya merasa Tuhan begitu adil dan baik, di BP saya menemui orang-orang pintar dan paham dengan produk Castrol. Meskipun posisi saya sebagai Marketing Director, saya tidak sungkan untuk bertanya dengan rekan kerja yang lain. Karena tugas saya cukup menantang, yaitu membesarkan pangsa pasar oli Castrol untuk motor maupun mobil di Indonesia,” ceritanya.

 

Kurang lebih selama 5,5 tahun ia belajar, berproses, membesarkan dan berupaya membuat maju produknya tersebut. Tidak ada yang sia-sia, salah satu produk oli Castrol, yakni Magnatec berhasil mencuri perhatian konsumen. Bahkan, seluruh jaringan mobil keluaran Astra, baik Toyota maupun Daihatsu menjadi partner resmi Castrol Magnatec.

 

Sukses di perusahaan oli yang cukup tersohor di negeri ini, Budi pun tak diam diri. Ia kembali mengepakkan sayap di bidang lainnya. “Tentu saja masih dalam bidang penjualan dong, karena bagi saya sales itu dinamis, berhubungan dengan banyak orang dan bisa belajar dengan ilmu ataupun orang-orang baru,” ucap bapak satu anak ini.

 

Atas tawaran dari sahabat karibnya, yakni Joko Wiyono, ia pun memutuskan meninggalkan Castrol dan mencari atmosfer baru. April 2011 ia resmi bergabung dengan Samsung Electronics Indonesia. Rentetan keberhasilannya dalam mengemban tugas di beberapa perusahaan sebelumnya membuat Budi tak perlu susah-susah memastikan ‘Big Bos’ Samsung akan kapabilitasnya.

 

“Posisi saya pada saat itu sebagai Business Director divisi Mobile Phone,” jelasnya. Ia mengatakan, ketika itu unit bisnis seluler Samsung masih dalam kondisi membangun. “Lini produk seluler Samsung saat itu masih dalam membangun dan meyakinkan pasar. Bayangkan Saya gabung April 2011, dan bos besar minta akhir 2011 saya harus membuat handphone Samsung menjadi nomor satu di pasar nasional,” tuturnya lagi.

 

Merasa tertantang, Budi pun membuat skema dan strategi. Baginya, Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi modal penting untuk mencapai kesuksesan tersebut. Demi memperkuat armada, ia menambah 100 pegawai baru yang sudah ahli di bidangnya masing-masing.

“SDM harus mapan dulu, setelah itu penguatan merek, partnership dan jalinan distributor atau dealer yang luas, ini kuncinya.” Tambah Budi.

 

“Dan ternyata saya tidak bisa memenuhi target bos, kami selisih 1,5 persen dari kompetitor. Tapi ini hanya masalah waktu saja,” ucapnya tegas. Tidak asal berkomentar, upaya serta kerja keras Budi dan timnya dibayar lunas pada tiga bulan berikutnya. Maret 2012, market share Samsung melonjak tajam, sekitar 25 persen! Tidak ada yang disombongkan, pencapaian luar biasa ini malah dianggapnya sebagai lecutan untuk lebih menggas pol karirnya. Mantab Bos...

 

Mantab Berkarir di HTC Indonesia

Kini ekspektasi Budi berubah. Biasa menjejakkan kaki di perusahaan yang sudah punya nama besar, terkenal dan memiliki pasar tersendiri, Budi mulai membiasakan diri untuk bekerja dari nol. Termasuk membangun relasi dan pasar dari nol.

 

Yakni di HTC Indonesia. Belum lama ia bergabung dengan perusahaan ini. Baru sekitar 6 bulan. “Januari kemarin saya masuk dan berperan sebagai Country Manager HTC Indonesia,”  ucapnya.

 

Jelas ini menjadi tantangan sekaligus simbol pembuktian bahwa dirinya sanggup memboyong produknya bersaing dengan kompetitor di level paling atas. Baginya, Indonesia merupakan pasar utama bagi kesuksesan HTC. Dari sisi strategi penjualan, pihaknya mengaku wajib memupuk rasa solid, tidak setengah-setengah dan fokus. Pun dari segi keuangan, SDM serta produk yang harus terus di perkuat. “Produk HTC memiliki kualitas luar biasa. Company nya memang masih kecil, tapi justru di sini saya bisa berkreasi sebaik mungkin. Ke depan prospeknya sangat besar,” pungkas Budi.

 

Dari sisi volume penjualan, Budi memiliki target sendiri, yakni sekitar 4,5 juta unit handphone dan 1 juta unit smartphone per bulannya laku di Indonesia. Wow!

 

Tidak ada yang tidak mungkin. Memang bisa dibilang belum banyak orang tahu HTC itu apa dan siapa. Bahkan, masih banyak yang mengira HTC hampir sama dengan ponsel buatan seharga Rp 1 juta. “Ini perlu dilakukan edukasi, karena HTC adalah ponsel berkualitas tinggi dengan sejumlah fitur berlimpah yang bermain di level menengah atas,” ujarnya.

 

Budi percaya masih ada asa yang terlihat terlebih ia dan timnya memiliki produk unggulan bernama HTC One. Sebuah smartphone menarik lengkap dengan fitur Blinkfeed yang dapat memperbarui berita dari sumber yang diinginkan. HTC One menggunakan bahan aluminium alias bukan material plastik belaka.

 

“Saya percaya kalimat Man Jadda Wa Jadda yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil. Kami fokus jualan sebanyak-banyaknya, kepercayaan kita untuk sukses masih sangat tinggi karena juga didukung dengan tim yang telah menuju ideal. Belum sempurna tapi akan segera disempurnakan semuanya,” aku Budi sembari tersenyum ramah.

 

 

 

 

Ingin Balik Jadi Dosen

Ada cerita menarik di balik proses dan rencana Budi setelah sukses mengantar HTC menjadi smartphone premium nomor satu di Indonesia. Sebelum mengukuhkan diri untuk bekerja di perusahaan, sejatinya Budi adalah seorang dosen.

 

Ia sempat mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma. Meski terhitung hanya satu semester saja, perannya sebagai dosen tersebut masih melekat di hati. Bahkan, suatu saat ia mengaku ingin kembali mengajar di bangku perkuliahan. “Nanti kalau HTC sudah besar saya ingin jadi dosen lagi, mengajar ilmu ekonomi dan mengaplikasikan dunia kerja ke perkuliahan,” tutupnya. 

 

Well, inilah cara Budi merubah roda kehidupan keluarganya untuk menjadi lebih baik sekaligus menyuguhkan cara bagaimana membuat hidup lebih berarti... It’s So Motivated!